Senin, 24 November 2008

Diversifikasi Pasar untuk Antisipasi Resesi

Gejolak ekonomi global harus direspon dengan langkah pengamanan konkrit dan substansial, antara lain pemerintah harus melakukan diversifikasi pasar ekspor, memperkuat basis pasar dalam negeri serta memperkuat ekonomi di pedesaan berbasis pertanian sebagai antisipasi krisis ekonomi global.

"Dana talangan 700 miliar dolar AS oleh Amerika Serikat kepada perusahaan di AS tidak serta merta meredam gejolak global. Buktinya, bursa di AS anjlok sesaat George Bush (Presiden AS) menandatangani undang-undang tentang penalangan," kata ekonom Sutrisno Iwantono PhD, di Jakarta, Minggu.

Iwantono yang juga Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan Ketua Pusat Advokasi Petani Indonesia itu, mengatakan pemerintah perlu mengantisipasi dengan langkah cepat penyelamatan ekonomi nasional.

Ekspor Indonesia yang masih tergantung pada pasar Amerika dan Jepang (yang juga dapat terkena krisis AS) terutama untuk produk pertanian akan terimbas langsung. Ledakan pengangguran yang terjadi di AS akan sangat menurunkan daya beli negara itu yang tentu saja menurunkan impor mereka.

Menurutnya, pemerintah harus kembali mendengarkan saran tentang perlunya diversifikasi pasar tujuan ekspor agar tidak tergantung pada dua negara tersebut. Pasar di kawasan Timur Tengah, Eropa Barat, Eropa Timur, China dan India harus digarap lebih serius lagi.

"China dan India memang semakin penting, tetapi Timur Tengah dan Eropa Timur sebenarnya tidak kalah penting," katanya. Komoditi penting ekspor non migas antara lain udang segar/beku, tuna, coklat dan biji coklat, kopi memiliki potensi besar untuk memasuki pasar tersebut.

Menteri Perdagangan seyogyanya segera merumuskan langkah-langkah terobosan menemukan ceruk baru pasar di kawasan itu.

"Lebih dari itu kita tidak boleh sepenuhnya tergantung pada pasar global, karena sewaktu-waktu bisa ambruk. Ekspor harus diimbangi dengan orientasi pasar domestik. Karena itu upaya untuk memperkukuh pasar domestik menjadi sangat penting," katanya.

Iwantono melanjutkan, "Kita berbeda dengan Singapura atau Taiwan yang negaranya kecil sehingga sepenuhnya bertumpu pada pasar global melalui ekspor. Indonesia negara besar dengan penduduk lebih dari 210 juta jiwa, potensi pasar dalam negeri sangat besar. Hanya saja daya belinya masih rendah".

Karena itu, katanya, harus diambil upaya terobosan untuk meningkatkan daya beli masyarakat lokal terutama di pedesaan dan sektor pertanian.

Pengembangan industri pedesaan berbasis pertanian harus menjadi prioritas. Beberapa gerak cepat yang dapat dijalankan antara lain mendorong industri penyedia kebutuhan masyarakat lokal, menurunkan laju impor yang menyaingi produk lokal, misalnya barang-barang murah dari China, menyediakan fasilitasi proses produksi yang meningkatkan nilai tambah terutama melalui desiminasi teknologi dan akses pada perkreditan.

Selain itu penyederhanaan perijinan usaha bagi usaha kecil menengah (UKM) dan Koperasi, alokasi anggaran pembangunan yang lebih pro rakyat miskin, serta pelonggaran likuiditas perbankan yang kini mulai perang suku bunga.

Beberapa sektor industri yang perlu mendapat perhatian khusus, katanya, di antaranya adalah pangan dan produk pangan olahan, perikanan dan produk perikanan olahan, peternakan dan produk olahannya, kayu, produk olahan kehutanan, dan produk-produk perkebunan.

Selain itu, perbaikan iklim investasi dalam negeri perlu diperbaiki secara serius, karena arus investasi akan sangat ketat tahun ini. Sekjen UNCTAD (United Nation Trade and Development Conference) Supachai Panitchpakdi memperkirakan penurunan sekitar 10 persen investasi global dari 1,8 triliun dolar AS tahun lalu menjadi 1,6 triliun dolar AS tahun 2008 ini.

"Sebagai negara tujuan investasi di Asia kita masih kalah menarik dibanding China, India dan Vietnam. Iklim investasi telah mengalami perbaikan, namun terdapat sejumlah faktor yang masih sering dikeluhkan oleh investor antara lain keterbatasan infrastruktur, ketidak transparanan proses hukum, aturan perpajakan yang rumit, pembatasan ekuitas, komplikasi prosedur administrasi dan birokrasi, kesulitan memperoleh sub-kontrak, perselisihan perburuhan, serat keterbatasan tenaga ahli," kata Iwantono.

Terhadap faktor-faktor ini diperlukan langkah-langkah perbaikan yang substansial, tegasnya.(*)

Tidak ada komentar: