Sabtu, 15 November 2008

Indonesia Merangkum Asa untuk Kemerdekaan Palestina

Komitmen Indonesia untuk membantu mewujudkan kemerdekaan Palestina tidak perlu dipertanyakan lagi.

Sebagai salah satu negara kunci Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 yang legendaris, Indonesia selalu meneguhkan komitmen menghapus penjajahan di muka dunia.

Rekam jejak upaya Indonesia untuk membumikan damai di Palestina pun tidak singkat.

Di berbagai forum dan kesempatan, pemerintah Indonesia menyerukan keprihatinannya pada konflik Palestina, yang disebut-sebut sebagai akar dari segala konflik di Timur Tengah.

Para diplomat ulung Indonesia juga tak lelah membawa kasus Palestina di berbagai meja perundingan, mulai dari Organisasi Konferensi Islam (OKI) hingga PBB.

Masyarakat umum di Indonesia juga turut berperan serta melalui berbagai aksi sosial dan solidaritasnya, misal aksi "one dollar for Palestina" beberapa waktu lalu.

Pada pembukaan Konferensi Kemanusiaan Internasional mengenai Bantuan bagi Palestina di Jakarta, akhir pekan lalu, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda kembali mempertegas komitmen Indonesia tersebut.

Namun, kali ini Menlu juga menyampaikan permintaan khusus kepada seluruh rakyat Palestina agar usaha dan kerja keras Indonesia dalam membantu mewujudkan kemerdekaan di bumi Palestina tidak sia-sia.

"Kita sangat prihatin dengan perkembangan Palestina, khususnya perbedaan tajam, bahkan perpecahan kelompok internal Palestina," katanya.

Perpecahan, menurut Hassan, hanya akan menguntungkan Israel. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia mendukung upaya sejumlah pihak, termasuk Mesir yang telah mengundang para tokoh kelompok Hamas maupun Fatah untuk mendorong persatuan Palestina.

"Kita juga mempunyai pengalaman selama ratusan tahun menghadapi penjajahan demi meraih kemerdekaan. Tetapi, kita bisa menampilkan persatuan dan meraih kemerdekaan," katanya.

Hal senada juga dikemukakan pengamat Hubungan Internasional Hariyadi Wiryawan. Menurut dia, persatuan antar faksi yang bertikai di dalam negeri Palestina adalah syarat utama kemerdekaan Palestina.

"Seperti kita tahu, Palestina belum menyatakan pendapatnya tentang masa depannya sendiri, masih banyak faksi yang bertentangan, ada yang mau Palestina dan Israel berdampingan, ada yang mau cuma ada Palestina tanpa Israel," kata Hariyadi.

Menurut dia, persoalan tersebut harus diselesaikan antar-bangsa Palestina sendiri tanpa perlu campur tangan dunia internasional.

"Apa yang mereka inginkan, baru kemudian kita dorong untuk mewujudkannya sesuai hukum internasional. Biar rakyat palestina sendiri yang menentukan masa depannya," ujarnya.

Terkait dengan sepak terjang Indonesia dalam mewujudkan kemerdekaan Palestina, Hariyadi berkata, "Ini kasus rumit, sebaiknya kita tetap berada di jalur mendorong tercapainya perdamaian dan kemerdekaan Palestina namun tidak berpretensi mencapai kemerdekaan (segera)."

Aneka Agenda

Sepanjang 2008 pemerintah Indonesia menggeber sejumlah kegiatan dalam upayanya mempersiapkan rakyat Palestina mencapai kemerdekaannya.

Dimulai dengan pelaksanaan konferensi tingkat menteri Asia Afrika untuk kemitraan strategis pembangunan kapasitas Palestina pada Juli 2008. Konferensi itu berawal dari pemikiran negara-negara Asia Afrika bahwa setelah 50 tahun sejak KAA 1955 di Bandung, ternyata masih ada negara yang belum merdeka.

Pada konferensi itu Indonesia menggagas program bantuan peningkatan kemampuan bagi 1.000 warga Palestina dalam lima tahun mendatang.

"Pemerintah Indonesia berencana memberikan bantuan peningkatan kemampuan pada 1.000 warga Palestina melalui berbagai pelatihan selama lima tahun. Jadi, sekitar 200 tiap tahun," kata Direktur Jenderal Asia, Pasifik, dan Afrika Departemen Luar Negeri Primo Alui Joelianto.

Konferensi itu merupakan lanjutan dari dua konferensi lain mengenai Palestina yang diselenggarakan pada akhir 2007 dan awal 2008, yaitu Konferensi Annapolis di Amerika Serikat yang berusaha mendudukkan Israel dan Palestina dalam satu meja perundingan dan Konferensi Negara-negara Donor (Uni Eropa) untuk dukungan atau bantuan ekonomi bagi Palestina di Paris.

Hingga Konferensi Kemanusiaan Internasional mengenai Bantuan bagi Palestina yang diselenggarakan pada 31 Oktober-2 November 2008 yang mempertemukan 300 LSM dari dalam negeri dan luar negeri.

Menurut Ketua Panitia Pengarah Konferensi yang juga wakil ketua Komisi III DPR Suripto, konferensi itu mempertemukan kalangan LSM dari berbagai negara untuk mendiskusikan langkah atau cara serta ide mendukung masyarakat palestina dalam rangka membangun kapasitas kemampuan bertahan mereka.

Sebelumnya pemerintah Indonesia juga menggagas sejumlah upaya, antara lain pelatihan di bidang inkubator bisnis untuk pengembangan usaha kecil dan menengah di Palestina dan para diplomat.

Pelatihan itu berlandaskan atas pemikiran mengenai kepentingan upaya mendukung perbaikan ekonomi Palestina. Sengketa berkepanjangan selama 60 tahun tentu membuat rakyat Palestina hidup dalam penderitaan dan menjadi hambatan terbesar bagi pembangunan ekonomi Palestina.

Oleh karena itu, menurut Primo, perbaikan ekonomi Palestina merupakan hal sangat penting dan perlu didukung. Dalam kaitan ini, usaha kecil menengah (UKM) dengan sifatnya sebagai bidang tangguh dan berdayatahan diharapkan menjadi landasan perbaikan ekonomi Palestina, katanya.

Sementara itu ditemui saat melantik 10 diplomat Palestina pertengahan tahun ini, Hassan mengatakan bahwa Indonesia melihat pelatihan diplomat sebagai kegiatan awal dari tekad negara Asia-Afrika membantu Palestina meningkatkan kemampuannya.

"Melalui ini, kita memberikan momentum pada upaya memberikan pelatihan di berbagai bidang dan mendorong bangsa lain Asia-Afrika melakukan hal serupa dalam rangka menyiapkan kemerdekaan Palestina," katanya.

Hassan mengatakan bahwa pemerintah Indonesia sangat mengharapkan proses tersebut terus bergulir, sehingga pada lima tahun mendatang makin banyak rakyat Palestina memanfaatkan kegiatan itu.

Menteri Luar Negeri juga menghargai kegigihan diplomat Palestina, yang harus melewati berbagai rintangan dan kesulitan untuk mengikuti pelatihan tersebut.

Ditemui pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Informasi dan Hubungan Luar Negeri Palestina Hani Mk Odeh, yang juga peserta pelatihan itu, mengatakan bahwa pelatihan seperti itu sangat berguna bagi mereka.

Ia juga mengakui bahwa perjuangan untuk dapat keluar dari Palestina tidak mudah. Untuk dapat menuju Amman, Yordania, Odeh harus melalui perbatasan Jericho, yang dijaga pasukan Israel. Agar dapat memperoleh ijin keluar, Odeh mengaku kepada penjaga bahwa ia akan mengunjungi keluarganya di Yordania. (*)

Tidak ada komentar: