Sabtu, 15 November 2008

Indonesia Seharusnya Sudah Belajar dari Krisis Finansial 1998

Indonesia seharusnya sudah belajar pada krisis ekonomi dan moneter yang mengguncang dunia pada 1998, dengan hanya sektor pertanian dan perkebunan yang tumbuh positif dan turut menyelamatkan ekonomi domestik.

Belajar dari kasus itu, Indonesia sudah saatnya memberi perhatian utama pada bidang pertanian dan perkebunan, agar bisa keluar dari krisis pangan yang kini mengancam dunia.

Rektor IPB, Dr Ir Herry Suhardiyanto MSc Suhardiyanto MSc menyatakan untuk mengembangkan pertanian dan perkebunan, maka setiap komoditas harus didekati secara spesifik karena masing-masing memiliki spesifikasi yang berbeda.

"Kita perlu mendekati satu per satu industri pangan untuk mengatasi krisis pangan yang kini mengancam dunia," kata Herry dalam acara diskusi tentang daya saing Indonesia di Jakarta, Kamis.

Dia menyatakan sebenarnya Indonesia sudah diingatkan saat krisis ekonomi dan moneter mengguncang dunia pada 1998.

"Saat itu hanya sektor pertanian yang tumbuh positif, sementara yang lain negatif. Ini menunjukkan sektor pertanian dan perkebunan sangat penting," kata Herry.

Namun, kondisi itu tidak mampu menyadarkan Indonesia. Kini terjadi lagi ancaman itu. "Mau diberi palajaran berapa kali lagi bangsa ini," katanya.

Deputi Bidang Pemasaran dan Jaringan Usaha, Kementrian Negara Koperasi dan UKM, Sri Ernawati, yang juga jadi narasumber mengatakan kelemahan koperasi dan usaha kecil menengah (UKM) adalah pada kemampuan memasarkan produk.

Dia mencontohkan, pada saat gula pasir naik dan langka pada waktu lalu, petani gula semut (gula merah) malah sedang bingung bagaimana memasarkan produknya.

Jika, semua pihak saling membantu, maka gula semut bisa dijadikan komoditas pengganti gula pasir karena biaya pembuatannya lebih murah dan tersedia banyak di sekuruh Indonesia.

"Jika, kita bisa mengatasi masalah ini, maka akan terjadi sinergi bahwa masyarakat tidak harus mengonsumsi gula pasir karena gula merah juga baik dikonsumsi," kata Erna.


Bantuan promosi

Sementara, Adi Lukman, dari Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman, mengatakan bantuan yang diperlukan UKM bukan hanya modal, tetapi juga promosi baik di luar ruang maupun di dalam ruang (out door dan in door) seperti yang dilakukan Malaysia.

Dengan promosi yang baik, maka produk dalam negeri, khususnya UKM, akan dikenal dan mudah dipasarkan.

Di samping promosi, produk UKM juga membutuhkan bimbingan dalam pengemasan, menjaga kualitas produk dan ketepatan waktu dalam memenuhi pemesanan, katanya.

Dia menyatakan Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa membutuhkan gula semut, tetapi UKM belum bisa memenuhi ketiga syarat tersebut, di samping kemampuan promosinya masih rendah.


Moratorium ekonomi liberal

Sementara Ketua Komunitas Daya Saiang Indonesia (ICC), Handito Hadi Joewono, menilai Indonesia sudah saatnya melakukan moratorium pada sistem ekonomi liberal yang saat ini dilaksanakan.

"Melemahnya daya saing ekonomi Indonesia saat ini menjadi momentum untuk melakukan moratorium of liberalism, dengan menunda liberalisasi perdagangan dan memperkuat perekonomian domestik," kata Handito.

Seiring dengan moratorium itu, dia mengusulkan agar dilakukan lima strategi penguatan daya saing, yakni revitalisasi agroindustri, peningkatan nilai tambah, penguatan daya saing domestik, peningkatan penetrasi pasar ekspor dan pengembangan teknologi agroindsutri. (*)

Tidak ada komentar: