Senin, 24 November 2008

Telaah -- “Zenso”, Otonomi Daerah di Jepang

Oleh Bob Widyahartono MA *)

Proses otonomi daerah yang tengah dilakukan negeri ini melalui Undang-Undang (UU) Otonomi Daerah) terbilang masih sangat muda dalam usia, pengalaman, ataupun kesiapan infrastruktur manusia, pengetahuan dan fisik.

Sebagai bahan pembanding, Jepang yang juga negara kepulauan menyelenggarakan otonomi daerahnya melalui Zenso=Zenkoku Sogo Kaihatsu Keikaku/ Integrated National Physical Development Plan (INDP). Hasil studi INDP untuk Indonesia pernah ditawarkan tahun 1995, sebagaimana laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada Mei 1995.

Otonomi Jepang bertolak dari keinginan pemerintah lokal dan ketulusan pemerintah pusat untuk menciptakan sekurangnya tiga tujuan pokok, yaitu pertama menciptakan kemandirian entitas publik lokal berdasarkan lokasi geografinya, kedua, mewujudkan konsep citizens’ self government oleh warga di daerah itu sendiri, dan ketiga, keinginan pemerintah pusat untuk menekan disparitas sosial ekonomi, lewat penyebaran kegiatan ekonomi yang tidak hanya terpusat pada satu kota tertentu saja.

Program pembangunan fisik Jepang ini dilakukan dengan tahapan-tahapan terpadu dengan tujuan akhir penghapusan kesenjangan sosial ekonomi (rectification of disparities) demi mencapai pemerataan Jepang (balanced development of national land).

Dalam pelaksanaan Zenso, tiga prinsip menjadi anutan. Pertama adanya pengakuan atas eksistensi organisasi pemerintah nasional sebagai organisasi yang berwenang di dalam mengatur strategi pembangunan nasional; Kedua, guna mengembangkan strategi pembangunan, dukungan data statistik yang akurat atas profil dan kondisi daerah masing-masing; Ketiga, proses pendelegasian (pelimpahan) wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Empat tahapan program pembangunan daerah Zenso I; Zenso II; Zenso III dan Zenso IV.
Zenso I dengan periode 1962-1967 menekankan konsep pembangunan fisik pada penyebaran industri-industri yang semula banyak berlokasi di kota-kota metropolitan menuju ke kota-kota besar dengan pengembangan kota-kota Industri Baru, seperti Niigata, Central Hokkaido, Matsumoto Suwa) dan Lokasi Pembangunan Industri Khusus layaknya Kashima, Harima.

Zenso II perode 1969-1975, pembangunan difokuskan pada pengembangan jarngan kerja baru seperti telekomunikasi, transportasi udara, kereta ekspres (shinkansen), highways, pelabuhan laut dsbnya, serta pembangunan industri-industri berskala besar, khususnya di kota-kota industri.

Zenso III periode 1977-1985, penyebaran kegiatan-kegiatan industri (industrial dispersion) ke tingkat-tingkat daerah agar konsentrasi kegiatan industri pada kota-kota besar tertentu saja, seperti Osaka dan Nagoya.

Zenso IV periode 1987-2000, pembentukan kawasan yang lebih tersebar, mengingat eskalasi masalah-masalah sosial terutama di kota Tokyo cukup besar, disertai jaringan informasi canggih dan pembangunan infrastruktur di luar Tokyo menghindari konsentrasi pembangunan di satu area saja.

Upaya untuk lebih mempromosikan area-area rural dengan pembangunan industri-industri software, misalnya, menjadi satu agenda yang tengah dilakukan kini. Batasan waktu (timeframe) dari masing-masing Zenso di atas bukanlah 'harga mati'.

Artinya, masing-masing Zenso tetap berjalan sesuai dengan programnya, sementara penetapan batas waktu tersebut hanya merupakan target formal yang ditetapkan pemerintah.

Sasaran utama program Zenso di atas berupa upaya pembangunan merata lewat pemberdayaan dan pengembangan potensi daerah masing-masing yang semuanya terjalin dalam satu konsep kawasan yang meluas.

Pembagian wilayah-wilayah berdasar konsep itu, terdiri atas kota sentral (center city); zona pertama (primary zone); zona kedua (secondary zone); dan zona ketiga (tertiary zone). Posisi itu kira-kira sama dengan bentuk karesidenan zaman Hindia Belanda dulu atau wilayah pembantu gubernur era Orde Baru.

Center city yang terbagi atas tujuh kota sentral:Sapporo, Sendai, Tokyo, Nagoya, Osaka, Hiroshima Fukuoka. Kota-kota pusat belakangan, yakni Asahikawa dan Morioka masuk dalam center city formasi pengembangan daerah semacam itu tidak berarti lepas sepenuhnya dari tangan pemerintah pusat.

Munculnya inisiatif dan kreativitas pengembangan masing-masing daerah diberi jalan sesuai dengan potensi daerahnya, sementara daerah juga tidak bisa menafikan kewenangan pusat dalam hal-hal tertentu, seperti pendidikan, keamanan, dan perencanaan kota. Dengan kata lain, pemerintah pusat lewat departemen-departemennya masih memiliki wewenang untuk turut campur dalam tugas-tugas tertentu di daerah.

The Institute of Development Assistance (RIDA) bersama The Overseas Economic Cooperation Fund (OECF), Jepang, dalam laporannya bulan Mei 1995 pernah menyampaikan hasil studi pada pihak Bappenas. Penulis terlibat sebagai anggota counterpart mewakili LP3E Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.

"INPD plan" menawarkan satu konsep pengembangan potensi daerah di Indonesia dalam dua kategori, yaitu kota sentral utama (primary cities) dan kota pendukung kedua (secondary cities) dan pengembangan segitiga interaksi regional (regional or international interaction triangle).

Kota-kota sentral utama adalah kota-kota di propinsi dengan konsentrasi penduduk yang besar, dengan fungsi administratif; dengan akses transportasi memadai serta letak geografi yang membentuk koridor Laut Jawa, yakni kota industri, perdagangan dan pariwisata, sebut saja Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Makasar, Palembang, Medan masuk dalam kategori ini.

Untuk kota-kota pendukung kedua terdiri atas Banjarmasin, Balikpapan, Pontianak, Manado, Ambon, Kupang, dan salah satu kota Irian Jaya. Kota-kota ini dapat dipertimbangkan sebagai kota-kota sentral yang secara geografis berpotensi dalam mengembangkan wilayah segitiga interaksi regional maupun internasional.

Pontianak, misalnya, dapat mengembangkan satu interaksi segitiga dengan Pekanbaru dan Singapura dalam bentuk Pontianak-Pekanbaru-Singapura interaction triangle. Interaksi segitiga semacam ini bisa pula dibentuk di Kalimantan (KalBar, KalSel, KalTim) dengan Malaysia dan Brunei.

Makasar, Kupang dan Australia bisa dikembangkan sebagai area segitiga interaksi demi pengembangan potensi kerjasama ekonomi. Manado, Ambon dan Filipina. Semua itu mengacu pada kota-kota sentral utama sebagai koridor bagi pengembangan area segitiga interaksi ekonomi regional maupun internasional. Karena perannya sebagai koridor ini, maka tentunya kota-kota sentral utama hanya sebagai "pengantar" bagi pengembangan daerah-daerah khususnya di luar koridor tersebut.

Usulan "INPD plan: kepada Bappenas waktu itu berintikan saran-saran pembangunan fisik daerah, dan upaya pemberdayaan masyarakat lewat pemberian peluang lebih besar kepada pelaku bisnis swasta, industri kecil menengah (UKM) di daerah-daerah.

Daerah-daerah di Indonesia, khususnya di luar koridor Jawa, memiliki kewenangan dalam pengembangan potensi ekonominya di bawah "payung" segitiga interaksi daerahnya dengan pihak ketiga (regional maupun internasional).

Usulan itu sudah sekitar satu dasawarsa lalu, namun agaknya bukan menjadi terlambat untuk menjadi contoh nyata di masa kini dan ke depan untuk mendukung UU Otda di negeri ini. (*)

*) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah Pengamat Ekonomi Studi Pembangunan, terutama masalah Asia Timur; Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi
Universitas Tarumanegara (FE Untar) Jakarta.

Tidak ada komentar: